Automatic translation of this blog page: Terjemahan otomatis blog ini

Senin, 05 Maret 2018

Budaya Anak-anak (Child Culture) dan Studi Seni Budaya (Bagian1)

Oleh Nasbahry Couto


Budaya (culture) adalah perilaku sosial dan norma yang ditemukan di masyarakat manusia. Yang di maksudkan dengan kebudayaan ini tentunya adalah kebudayaan orang dewasa, bukan kebudayaan anak-anak (child culture). Dari kedua sisi pandang inilah (budaya orang dewasa dan budaya anak-anak) penulis melihat beberapa permasalahan, khususnya dalam kaitannya dengan pembelajaran seni dan budaya di sekolah, maupun di perguruan tinggi di Indonesia.Dalam paket buku guru dan murid kurikulum tematik terpadu 2013, yang diterbitkan tahun 2015 oleh Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Indonesia. Istilah seni budaya menghilang digantikan dengan buku paket untuk murid dan guru bertema "Permainan Tradisional" isinya sebenarnya di antaranya adalah "budaya anak" juga di samping permainan tradisional orang dewasa. Dalam hal ini pemerintah khususnya departemen pendidikan dan kebudayaan tentu akan berpihak membela anak-anak, tetapi kekeliruan ini lama baru dapat di sadari dan muncul kurikulum tematik 2013. 


Pendahuluan 


Seperti yang kita ketahui, budaya (culture) dapat dianggap sebagai konsep sentral dalam antropologi, meliputi rentang fenomena yang ditransmisikan melalui  pembelajaran sosial di masyarakat manusia. Beberapa aspek perilaku manusia, praktik sosial seperti budaya, bentuk ekspresif seperti seni, musik, tari, ritual, dan agama, dan teknologi seperti penggunaan alat, memasak, tempat berlindung, dan pakaian dikatakan sebagai budaya universal, ditemukan di semua masyarakat manusia. Konsep budaya material mencakup ekspresi fisik budaya, seperti teknologi, arsitektur dan seni, sedangkan aspek immaterial budaya seperti prinsip organisasi sosial (termasuk praktik organisasi politik dan institusi sosial), mitologi , filsafat , sastra (keduanya tertulis dan lisan ), dan sains terdiri dari warisan budaya tak benda suatu masyarakat.[1]

Dalam humaniora,  rasa budaya sebagai atribut individu, adalah sejauh mana mereka telah menumbuhkan tingkat kecanggihan tertentu dalam seni, sains, pendidikan, atau tata krama. Tingkat kecanggihan budaya juga terkadang terlihat untuk membedakan peradaban dari masyarakat yang kurang kompleks. Pandangan  hierarki seperti itu terhadap budaya juga ditemukan dalam perbedaan berbasis kelas budaya, misalnya antara budaya elite dari sosial yang tinggi dan budaya rendah, budaya populer, atau budaya rakyat kelas bawah, yang dibedakan oleh akses stratifikasi terhadap modal budaya.

Dalam bahasa umum, budaya sering digunakan untuk merujuk secara khusus pada tanda-tanda simbolis yang digunakan oleh kelompok etnis untuk membedakan diri mereka dari satu sama lain seperti modifikasi tubuh, pakaian atau perhiasan. Budaya massa mengacu pada bentuk budaya konsumen yang diproduksi massal dan bermunculan secara massal yang muncul pada abad ke-20. Dalam ilmu sosial yang lebih luas, perspektif teoretis dari materialisme budaya berpendapat bahwa budaya simbolis manusia muncul dari kondisi material kehidupan manusia, karena manusia menciptakan kondisi untuk kelangsungan hidup fisik, dan bahwa basis budaya ditemukan dalam watak biologis yang berevolusi.

Kemudian muncul Pendidikan Seni Budaya diberikan di sekolah-sekolah di Indonesia. Muncul karena dianggap adanya  keunikannya, kebermaknaannya, dan kebergunaannya-- terhadap kebutuhan siswa-- yang terletak pada pemberian pengalaman Estetik dalam bentuk kegiatan berekspresi, berkreasi dan berapresiasi melalui pendekatan “belajar dengan Seni”, “belajar melalui seni”, dan “belajar tentang seni”. Dianggap peran-peran ini tidak dapat diberikan oleh mata pelajaran lain.

Anggapan lain adalah bahwa pembelajaran seni budaya sangat terkait dengan kehidupan masyarakat Indonesia yang majemuk, dengan latar belakang budaya yang beraneka ragam, sehingga dengan memperkenalkan keanekaragaman budaya dalam pembelajaran seni menjadi strategi dalam mendukung pelestarian budaya tradisi.

Karakteristik bidang studi Seni Budaya yang paling menonjol adalah bersifat rekreatif. apabila guru kreatif untuk memanfaatkan karakteristik bidang studi ini maka akan mampu membentuk karakter siswa yang mandiri, bertanggung jawab, kreatif, imajinatif, produktif, dan responsif.

Namun tidak akan menolak munculnya pemikiran yang lain misalnya  pendidikan seni dan Budaya yang cocok dengan sosial budaya anak-anak (child culture). Sebab konteks pelestarian budaya dalam pembelajaran seni budaya baru sebatas pelestarian budaya orang dewasa, dan bukan budaya anak-anak. Apakah yang dimaksud dengan budaya anak-anak?

Seperti yang dikatakan oleh Steven Mintz[2], budaya anak-anak adalah yang ada di sekitar dunia imajinatif dan kreatif anak-anak, seperti: cerita rakyat dan humor mereka; hubungan sosial anak-anak, termasuk persahabatan dan interaksi mereka dengan teman sebayanya; permainan anak-anak, termasuk permainan, olahraga, dan permainan komputer dan video; dan konsumsi mereka pada budaya populer komersial, seperti buku anak-anak, acara televisi, dan film. 

Seperti yang di kemukakan dalam penelitian oleh  Jackie Marsh (2010/c: 23–39)[3] yang berpendapat, dalam pendidikan seni dan budaya ada tiga hal yang menjadi sorotan,
  1. budaya anak-anak itu sendiri (yang harus di bedakan dengan budaya orang dewasa),
  2. seni dan budaya orang dewasa, dan
  3. ketiga adalah peran pendidikan seni untuk menumbuhkan kreatifitas.

Menurut Marsh[4], ketiga hal ini sering dipahami secara berbeda oleh dunia pendidikan. Misalnya terlihat bahwa anak-anak itu  hidup dalam budaya populer, oleh media dan teknologi baru seperti internet dan komputer, tetapi mereka juga hidup dari pengaruh budaya orang dewasa dan juga pengaruh dunia sekolah. Namun kurang mengenai budaya anak-anak (child culture). Walaupun ketiga hal itu berbeda tetapi berada dalam jalinan yang sangat erat, yang memungkinkan salah satu konsep atau disiplin ilmu ini dapat mendominasi yang lain. Dari ketiga masalah itu mungkin istilah 'masa kecil' (masa anak-anak) yang paling bermasalah, apalagi jika adanya  pengakuan bahwa bahwa masa anak-anak itu adalah bagian dari konstruksi sosial.

Permasalahan di atas akan memunculkan beberapa pertanyaan, misalnya apakah batas usia sehingga disebut anak-anak?; Bagaimanakah bentuk budaya anak-anak (baik di Indonesia maupun di daerah)?; Apakah budaya anak-anak tradisional, khususnya permainan anak-anak tradisional itu memang sudah punah, berangsur hilang dan digantikan dengan yang baru? Apakah guru sekolah dasar memahami tentang tentang konsep budaya anak-anak, dan apakah mereka setuju dengan memasukkan unsur budaya anak-anak ini ke dalam pembelajaran seni budaya?

Hakikat Pendidikan Seni Budaya yang lama: Transfer Budaya Orang Dewasa pada Pendidikan Seni Budaya


Pendidikan seni budaya bukannya tanpa kritik, banyak yang mengkritik, misalnya di australia dan inggris. Tetapi di Indonesia tidak ada yang berani mengkritik. Banyak tulisan yang memaparkan orang dewasa telah menjajah dunia anak-anak, termasuk dalam hal seni. Ini masih masuk akal sebab sesuai dengan teori Steven Mintz dalam tulisannya "child culture”(1998) mengemukakan delapan faktor yang memengaruhi budaya anak, di antaranya adalah perang orang dewasa terhadap  anak-anak. Dan Mintz berpendapat perang ini telah terjadi berabad lamanya.

Yang sering dibicarakan dalam pendidikan seni dan budaya umumnya adalah transfer budaya orang dewasa. Misalnya Shakti  Maira[5]  menurutnya seni dan budaya orang Asia itu sangat terjalin erat. Konsep seni Asia/Timur berbeda dengan konsep seni Barat karena  secara tradisional tujuan seni tidaklah dalam rangka pembuatan 'seni' dalam arti  produknya seperti kacamata orang Barat.
Seni dalam pengertian sebenarnya terlibat dalam pengembangan dan pendidikan orang di semua tahap kehidupan: misalnya untuk  pengembangan fisik, intuitif, emosional dan kognitif anak yang sedang tumbuh; sebagai cara menyalurkan nilai-nilai  keluarga dan masyarakat. Sebagai jembatan antara dunia alam, manusia dan ilahi; dan sebagai alat untuk meditasi dan pengalaman transformatif dan pemahaman.

Menurutnya penciptaan dan pembelajaran yang saling terkait: seni dan pengetahuan yang hampir identik. Seni itu fungsional tetapi juga indah dan bermakna. Menurut Shakti  Maira ada dikotomi atau pertentangan cara Barat dan cara Timur dalam pendidikan seni, saat Barat terlihat mementingkan nilai individu (ekspresi) dan Timur mementingkan nilai sosial (seni dan budaya lokal).

Pengaruh Barat terhadap pendidikan seni di kelas  menurut Shakti  Maira biasanya terdiri dari kegiatan seperti menggambar, melukis dan objek tertentu. Nilai utama dari penciptaan seni pada anak dipandang sebagai pengembangan nilai ekspresi diri individu,  dan dengan penekanan ini dianggap telah terjadi pengurangan nilai-nilai komunikatif dan sosial.  

Tetapi oleh penulis pandangan Shakti Maira ini, kurang penting  karena konsep ideologi seni Barat dan Timur ini terlalu jauh jangkauannya dengan konsep seni anak dan budaya anak-anak.
Apa yang dimaksud dengan budaya anak-anak? Sebenarnya apa yang di bedakan oleh Shakti Maira tentang nilai ekspresi maupun nilai sosial adalah sebuah pandangan yang sama-sama berangkat dari pandangan budaya orang dewasa. Yang berbeda dengan budaya anak-anak. Sebenarnya apa yang dibedakan oleh Maira hanya sumbernya, yaitu budaya Barat dan budaya Timur. Kedua-duanya dalam horison/ pandangan seni, sebetulnya sama yaitu dalam pengertian budaya orang dewasa.

Sebab bagi anak-anak khususnya di Indonesia, budaya Eropa (Barat)  dan Timur (Asia) tidak ada bedanya dalam hal pandangan “anak-anak dan budaya mereka sendiri”, terutama dalam hal komunikasi, bermain, dan aturan yang dibentuk sesamanya dan se zamannya.

Jadi logis jika konsep dan pandangan seperti ini dibantah oleh  Janis Boyd[6], dalam tulisannya “Myths, Misconceptions, Problems and Issues in Arts Education”, menurutnya para pendukung seni yang memprioritaskan ekspresi diri memang lebih peduli dengan pertumbuhan individu daripada aspek budaya komunal, budaya dan sosial dari seni. Menurut Janis Boyd, nilai tradisi justru menyebabkan pemikiran kurikulum akan berbasis pada nilai warisan budaya, namun dalam hal ini bertentangan dengan tempat dan nilai konsepsi seni  yang lebih humanis.

Jadi dalam pendidikan seni sebenarnya terdapat dikotomi, mitos dan isu-isu yang  terkait dalam pendidikan  anak-anak dan remaja di sekolah, termasuk yang ada di Indonesia,  Kita melihat gejala yang khaostik, dan berbagai pengaruh pemikiran yang tidak konsisten masuk ke dalam pendidikan seni baik di Indonesia maupun Asia.  Oleh karena itu diperlukan validitas dan efektivitas filosofi dan pendekatan yang berbeda untuk menilainya. Mungkin banyak yang tidak sadar bahwa  kurikulum seni budaya adalah usaha untuk menghancurkan sendi-sendi pendidikan seni yang justru sangat penting di belahan dunia Barat maupun Asia. 

Kurikulum seni budaya sebenarnya meniru kurikulum pendidikan seni postmoderen Amerika ( yang di Amerika sendiri pendidikan seni posmo ini di tolak). Yang berlaku di Amerika justru modus formalisme plus, yaitu  perbaikan terhadap seni yang mementingkan estetika, yang sebelumnya dianut oleh kurikulum seni  sebelumnya (KTSP), sebagai pengaruh dari tokoh  seperti Clive Bell, Roger Fry, bahkan oleh Herbert Read dan Dewey yang akarnya adalah filsafat Kant, tentang estetika formalis. 

Untuk memahami ini lihat Pernyataan Resmi (Buku Putih) NAEA (National Art Education Association of America tentang FTC (Form + Theme + Context), NAEA adalah organisasi guru pendidik seni terbesar di Amerika. Indonesia tidak sepenuhnya meniru pendidikan seni posmo, juga tidak sepenuhnya menerapkan FTC, yang celaka adalah guru-guru seni budaya di Indonesia yang tidak mengerti pendidikan seni itu sebenarnya apa. Ini bukan isapan jempol belaka sebab setelah penulis amati  profesor dan doktor seni di PT  juga tidak mengerti tentang hal ini, dan bingung mau mengajarkan apa.

Seperti yang diketahui pengertian seni dan budaya itu bukan hanya seni dan budaya orang dewasa seperti seni rupa,  nyanyian dan tarian tradisional saja.  Pengertian seni dan budaya itu juga mencakup seni dan budaya anak-anak itu sendiri  yang sering tidak diperhatikan sebagai subjek, dan hanya diperlakukan sebagai objek pemikiran orang dewasa.

Hakikat  Budaya Anak –Anak (Child Culture)

Menurut Jenkins (Ed.,) 1998.)[7] dalam beberapa tahun terakhir, ilmuwan yang memfokuskan tentang studi budaya dari berbagai bidang studi telah menata ulang dan menilai isu sosiologis yang secara khusus menangani peran anak-anak dalam budaya masyarakat. Ungkapan "budaya anak-anak" dipopulerkan dalam kumpulan tulisan yaitu The Children's Culture Reader. Koleksi tersebut, yang diedit oleh Jenkins, menampilkan berbagai ilmuwan yang membahas tema budaya tentang masa kanak-kanak dan apa artinya menjadi seorang anak. Jenkins menggambarkan koleksi tulisan itu sebagai, "tentang bagaimana budaya kita mendefinisikan apa artinya menjadi seorang anak, bagaimana institusi orang dewasa memengaruhi kehidupan anak-anak, dan bagaimana anak-anak membangun identitas budaya dan sosial mereka,".mumnya para ilmuwan dalam buku ini memandang anak-anak sebagai "peserta aktif," yang memiliki agen sosial dan politik."(Jenkins, et.al). Bahkan sejarawan Amerika Steven Mintz menerangkan bahwa kritik orang dewasa terhadap budaya anak-anak umumnya berfokus pada komersialisasi, komodifikasi (hal apapun yang dapat ditukar untuk dikomersilkan), dan kolonisasi terhadap anak-anak (Mintz, S., 2009).




Marsh, J., (2010), dalam bukunya yang berjudul “Chilhold, Culture and Creativity: a literature Review”, menjelaskan istilah masa anak-anak, kebudayaan dan kreativitas adalah tiga konsep yang sangat berbeda tetapi berada dalam jalinan yang sangat erat, yang memungkinkan salah satu konsep atau disiplin ilmu ini dapat mendominasi yang lain. Dari ketiga masalah itu mungkin istilah 'masa kecil' (masa anak-anak) yang paling bermasalah, apalagi jika adanya  pengakuan bahwa bahwa masa anak-anak itu adalah bagian dari konstruksi sosial, (misalnya terlihat dari tulisan James, Jenks dan Prout, (1998). [8]. Menurut Marsh, J., (2010), karya sosiolog baru masa kini menekankan gagasan anak sebagai aktor sosial dan menekankan anak sebagai tempat atau pusat yang memiliki struktur dalam sosial mereka sendiri (lihat Tabel 1).

Model Masa Kanak-Kanak Menurut Marsh, J., (2010)



Model Tradisional dari Chilhold

Model Baru  Chilhold


  • Anak sebagai tergantung pada orang dewasa
  • anak sebagai berkembang melalui berbagai tahap ketidakdewasaan dalam perjalanan untuk menjadi dewasa
  • anak-anak sebagai objek studi dewasa

  • anak sebagai agen
  • anak  yang bukan sebagai orang dewasa
  • anak sebagai yang memiliki hak anak tersendiri
  • anak  sebagai peserta aktif dan berdampak lebih luas pada dunia sosial



[1] Macionis, John J; Gerber, Linda Marie (2011). Sociology. Toronto: Pearson Prentice Hall. p. 53
[2] ttps://www.usu.edu/anthro/childhoodconference/Reading%20Material/Mintz_Childrens_culture_002.doc
[3] Marsh, (2010), Childhood, Culture and Creativity: a literature Review. Jackie Marsh adalah Profesor Pendidikan di University of Sheffield, UK.
[4] Ibid hal.9. Dalam hal ini Mars membatasi masa anak-anak itu sampai usia 8 tahun, dan dalam tulisan ini di batasi pada usia 8-9 tahun.
[5] Shakti Maira adalah seorang seniman dan penulis “Menuju Ananda: Rethinking Seni dan Estetika di India”, yang diterbitkan oleh Penguin. Mr Maira membantu dalam organisasi “Transmisi dan Transformasi: Belajar Melalui Seni di Asia” simposium di New Delhi, India 21-24 Maret 2005.
[6]  Lihat pada https://www.researchgate.net/publication/253074818_Myths_Misconceptions_Problems_and_Issues_in_Arts_Education
[7] Lihat bukunya : Jenkins (Ed.,) 1998, The Children's Culture Reader, Publisher: NYU Press
[8] James, A., Jenks, C. and Prout, A. (1998). Theorizing Childhood. Cambridge: Polity Press.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Silahkan tinggalkan komentar Anda, jika ingin menggunakan emotion, silahkan klik emotionnya, dan kopy paste kodenya dalam kotak komentar

Sering dilihat, yang lain mungkin juga penting